Jeli melihat peluang, akan merubah hidup yang kita jalani.
Kali ini kita akan membahas kisah inspiratif dari Sudono Salim pendiri dari grup Indofood.
Hampir semua orang di Indonesia pasti tidak asing dengan nama Indofood.
Apalagi produknya yaitu Indomie, merupakan makanan yang sangat melegenda.
Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di luar negri.
Namun kesuksesan yang diraih oleh Sudono bukanlah hal yang mudah.
Dimulai dari nol hingga bisa menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.
Sudono Salim lahir pada tahun 1916 di China dengan nama Liem Sioe Liong.
Dia lahir dari keluarga petani yang sangat miskin dan sulit.
Pada usia yang ke 15 tahun, Liem kecil terpaksa harus berhenti sekolah,
untuk membantu ayahnya berjualan mie.
Kondisi di kampung halamannya juga sangat tidak kondusif.
Perang yang tiada henti antara China dan Jepang,
membuat Liem merantau dari kampung halamannya ke Indonesia melalui kapal Belanda.
Dia menumpang kapal layar tanpa mesin untuk sampai ke Surabaya,
tempat kakaknya yang sudah lebih dahulu merantau ke sana.
Saat pertama kali tiba di Surabaya, uang Liem sudah habis.
Dan dia terpaksa harus menjadi gelandangan selama beberapa hari menunggu di jemput oleh kakaknya.
Dari Surabaya, Liem kemudian pergi menuju Kudus tempat dimana kakaknya tinggal.
Diapun sempat bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik tahu dan kerupuk.
Kondisi ini tidak mengecilkan semangat Liem untuk merubah nasib.
Dia berusaha membuka mata dan telinga dengan lebar,
untuk melihat peluang bisnis yang mampu mengubah hidupnya.
Liem pun melihat peluang bisnis, dengan menjual minyak kacang.
Bisnisnya berkembang dengan pesat, setelah dirinya mulai menjadi pemasok cengkeh untuk perusahaan rokok di Kudus dan Semarang.
Sebagai informasi, sejak dulu, kota Kudus memang sudah terkenal sebagai pusat rokok kretek,
yang membutuhkan banyak bahan baku seperti cengkeh dan tembakau.
Walaupun bisnis rokok di wilayah tersebut berkembang pesat,
namun pasokan akan tembakau dan cengkeh masih sangat minim.
Ini merupakan peluang besar bagi Liem untuk menjadi pemasok cengkeh dan tembakau.
Dia pun mulai mencari jalur untuk menyelundupkan bahan baku tersebut,
dari Maluku, Sumatera, dan Sulawesi Utara melalui Singapura,
lalu dikirimkan melalui jalur khusus ke Kudus.
Ini merupakan pilar utama bisnis Liem di awal-awal karirnya.
Hingga pada saat usia 25 tahun, Liem menjadi seorang bandar cengkeh terbesar di Kota Kudus.
Sebagai informasi, Indonesia saat itu masih dalam penjajahan Belanda.
Di sana, Liem menikah dengan gadis asal Lasem,
yang merupakan anak dari saudagar besar di Kudus yang bersekolah di sekolah Belanda Tionghoa.
Awalnya lamaran Liem ditolak.
Karena orang tua si gadis takut anaknya akan dibawa ke China.
Namun dia tidak menyerah.
Liem lalu melamar lagi hingga diterima dan diizinkan untuk menikah.
Pesta pernikahannya bahkan dirayakan hingga 12 hari.
Maklum saja, calon istri Liem berasal dari keluarga yang terpandang.
Mertuanya juga berperan penting dalam membesarkan perusahaan tembakau dan cengkeh milik Liem.
Seiring berjalannya waktu,
Liem pun merambah ke bisnis yang lain.
Ia menyediakan pasokan barang medis untuk tentara revolusioner di Medan.
Bisnis inilah yang membuatnya bertemu dengan Soeharto,
yang saat itu menjabat sebagai Perwira Tentara Indonesia.
Bahkan kedekatannya dengan tentara revolusioner,
membuat Liem sempat dituduh sebagai pemasok senjata oleh tentara Belanda.
Diapun membantah mentah-mentah tuduhan tersebut.
Pada tahun 1942, Jepang datang ke Indonesia dan menghancurkan semua yang telah dibangun oleh Liem dengan susah payah.
Penjajahan Jepang membuat semua bisnis harus dihentikan.
Dan keadaan sulit ini terus berlanjut selama 3 tahun kemudian.
Hingga akhirnya Jepang angkat kaki dari Indonesia.
Pada tahun 1945, Liem menjadi penyedia jasa logistik, senjata dan obat-obatan,
bagi tentara yang ada di medan perang untuk menghadapi Belanda.
Barulah ketika Indonesia merdeka, Liem mulai menata kembali hidupnya,
dan pindah ke Jakarta untuk mengadu nasib.
Diapun berusaha mencari peluang bisnis yang baru.
Salah satu usahanya adalah bekerja sama dengan perusahaan asal China dan Hongkong,
untuk menjadi pemasok utama kebersihan berupa sabun, kepada tentara nasional Indonesia.
Diapun akhirnya menjadi salah satu pemasok untuk kebutuhan dinas ketentaraan.
Liem juga menyadari, di awal kemerdekaan,
kesulitan ekonomi merupakan masalah yang besar.
Inilah yang membuat dia bersama Mochtar Riyadi mendirikan bank yang bernama :
Central Bank Asia.
Di kemudian hari kita mengenal kalau bank ini akan berganti kepemilikan,
dan berubah nama menjadi Bank Central Asia.
Era orde baru merupakan era dimana keadaan ekonomi Liem sangat bersinar.
Liem pernah datang menghadap Soeharto,
dan meminta saran tentang usaha apa yang bisa dilakukannya.
Soeharto pun memberikan petunjuk,
kalau jangan hanya dagang cari untung saja.
Tapi membangun industri yang dibutuhkan oleh rakyat.
Pangan misalnya.
Inilah dasar Liem membangun perusahaan penggilingan gandum yang diberi nama PT. Bogasari Flower Meal, bersama 3 rekannya yang lain pada tahun 1968.
Dari Bogasari, Liem juga mengembangkan bisnis olahan tepung terigu berupa mie instan di bawah Indofood.
Produk yang diberinama Indomie ternyata meledak di pasaran.
Dan sukses berat hingga sekarang.
Bahkan saking terkenalnya Indomie di luar negri,
produk tersebut menjadi bahan makanan pokok,
di salah satu negara di Afrika yaitu di Nigeria.
Kelompok pengusaha ini juga berhasil mendirikan pabrik semen terbesar di Indonesia.
Dengan nama PT.Indocemen Tunggal Perkasa.
Kedekatannya dengan penguasa melancarkan berbagai proyek bisnisnya.
Misalkan PT. Bogasari Flower Meal juga sempat diduga melakukan monopoli pasar tepung di Indonesia dengan pasokan 2/3 dari seluruh kebutuhan gandum nasional.
Gurita bisnis Liem pun berlanjut.
Dia juga memasuki sektor properti melalui PT. Metropolitan Development,
yang merupakan pengembang dari berbagai perumahan elit.
Liem juga merambah ke bisnis otomotif melalui PT. Indomobil.
Gurita bisnisnya di era orde baru,
membuat Liem menjadi salah satu pengusaha paling berpengaruh,
dan bahkan disebut masuk sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia dan Asia.
Walaupun Liem sempat berada di puncak, namun ibarat roda,
ada saatnya juga akan turun ke bawah.
Pada akhir tahun 1990-an, dan puncaknya pada tahun 1997,
ketika krisis moneter di Indonesia,
kerajaan bisnis Liem pun goyah.
Hutang perusahaan bahkan mencapai nilai yang fantastis yaitu Rp. 52 triliun.
Mau tidak mau, Liem harus menjual beberapa perusahaan miliknya,
untuk menutupi hutang yang demikian besarnya.
Dia terpaksa harus melepas PT. Indomobil, PT. Indocement, PT. BCA, dan ratusan perusahaan lainnya, untuk membayar hutang.
Bukan hanya perusahaan miliknya yang harus di lego,
rumahnya di jalan Gunung sahari, juga habis dijarah massa saat kerusuhan Mei 1998.
Sejak saat itu, Liem pindah dan tinggal di Singapura hingga akhir hayatnya.
Diapun mempercayakan Indofood kepada anaknya,
dan berhasil membawa nama Salim grup kembali cemerlang.
Jika kamu hanya mendengarkan apa kata orang,
maka kamu bisa gila.
Kamu harus lakukan apa yang kamu yakini.