Pada kesempatan kali ini aku mau ngebahas hal yang jadi momok bagi masyarakat Indonesia. Masalah ini selalu menjadi kontroversi yang akan mengubah iklim dunia kerja di masa depan. Tapi mau ga mau ini pasti bakalan kejadian. Masalah ini adalah proses otomasi atau otomatisasi yang sering dianggap sebagai sebuah proses buat mengganti pekerjaan manusia pakai robot, AI, atau teknologi lain yang akan meningkatkan produktivitas tanpa banyak peran tenaga manusia. Percaya ga percaya, perusahaan-perusahaan di dunia itu satu persatu mulai mengganti tenaga kerja mereka pakai robot dan juga program komputer. Contohnya pabrik BMW yang sudah mengotomatisasi 95% proses perakitan mobil dan mampu memproduksi 1000 mobil setiap hari. Terus ada juga gudang pintar punyanya amazon. Dengan robot yang bisa menyortir atau mindahin barang kiriman ke tempat yang ditentukan, dengan lebih cepat, akurat dan juga minim kecelakaan. Bahkan belakangan ini, gudang Amazon udah beli 10.000 buah robot baru buat ngejalanin operasinya. Ini tuh jauh lebih banyak daripada perekrutan karyawan yang cuma 1000 pekerja baru.

Kita bisa lihat trend gantinya tenaga manusia ke tenaga robot dan teknologi lain itu adalah sebuah fenomena yang terus meningkat setiap tahun. Cepat atau lambat hal ini emang ga terhindarkan. Teknologi otomasi bisa bekerja dengan lebih efisien, akurat dan juga bisa kerja non-stop. Ga bisa capek dan ga bisa hilang konsentrasi. Jadi aset pengerjaannya itu bakalan lebih stabil. Dari semua kelebihan itu akhirnya produktivitas yang dilahirkan itu jadi jauh lebih tinggi daripada manusia. Bahkan menurut analisis dari McKinsey, setengah dari pekerjaan di dunia itu bisa di otomasi pakai teknologi. Yang paling gampang digantiin itu adalah kerjaan yang sifatnya repetitif, gampang diprediksi, dan ada di lingkungan yang terkontrol. Misalkan seperti aktivitas perakitan di pabrik, operator mesin dan aktivitas administratif, dll.

Diperkirakan sepanjang 2016 sampai 2030 sekitar 15%-30% tenaga kerja di dunia bakalan digantikan sama otomasi. Artinya ada 400-800 juta pekerja yang terancam akan kehilangan pekerjaan. Atau terpaksa harus alih profesi ke pekerjaan baru. Sebetulnya fenomena ini tuh udah bisa kita lihat ya di beberapa negara lain, misalnya sepanjang 2016-2018 kota Dongguan di China mengurangi 280 ribu pekerja dan menggantinya pakai 91 ribu robot industri. Selain itu Foxconn yang jadi manufaktur Iphone di China sepanjang 2012-2016 udah mengganti lebih dari 400 ribu pekerja pakai puluhan ribu robot. Dengan penggantian tenaga kerja manusia pakai teknologi otomasi di dunia industri, bagaimana cara kita menghadapi hal tersebut?

Mungkin sebagian dari kamu masih mikir, itukan di luar negri, Indonesia kan suka lambat ya mengadopsi teknologi canggih kaya gitu. Lagian kan tenaga kerja Indonesia masih tergolong murah banget. Ga ada untungnya deh perusahaan invest mahal-mahal otomasi AI atau robot. Jangan salah ya, meskipun kelihatannya terlambat, perusahaan di Indonesia juga udah mulai ngadopsi otomasi. Sejak tahun 2000-2015 hampir 30% perusahaan di Indonesia udah berinvestasi di teknologi informasi buat mengerjakan aktivitas rutin. Contohnya pabrik Astra Daihatsu Motor di Karawang yang udah mengotomasi 42% produksi mobilnya pakai 300 unit robot. Selain itu ada juga Unilever Indonesia yang udah mengotomasi pembuatan invoice yang bisa memproses 3 juta invoice lebih cepat dan juga lebih akurat. Dan yang paling kita kenal, teknologi yang dipakai oleh ojol dan taksi online. Sudah bisa mempertemukan penumpang dengan sopir tanpa perlu repot-repot menghubungi customer service. Tanpa sadar itu juga adalah salah satu bentuk otomasi yang dijembatani oleh sebuah aplikasi.
Penumpang yang 10 tahun lalu butuh 15-20 menit buat dihubungi ke supir sama operator telepon, sekarang cuma butuh waktu kurang dari 30 detik.

Tanpa kita sadari proses otomasi itu sudah terjadi di Indonesia. Dan banyak aktivitas yang sebelumnya dikerjakan oleh manusia, sekarang udah bisa diotomasi pakai teknologi. Berkat hal tersebut, dalam 15 tahun pekerja Indonesia itu bisa menghemat waktu pekerjaan repetitif sebanyak 16% atau sekitar 5,5 jam kerja per minggu. Nah menurut laporan McKinsey tahun 2019, di tahun 2030 nanti sekitar 16% atau 23 juta tenaga kerja di Indonesia bakalan tergantikan oleh teknologi. Kalau tenaga kerja kita digantikan sama teknologi, berarti bakalan banyak tenaga kerja yang kena PHK dong? Terus gimana dong nasib mereka? Bisa jadi pengangguran masal dong ya. Jangan khawatir dulu, ada banyak riset yang mendukung kalau adopsi teknologi otomasi itu justru lebih banyak meningkatkan kesejahteraan di level makro. Otomasi di Indonesia bisa menaikkan gaji pekerja sebesar 4-7 persen per tahun. Soalnya para pekerja ini dialihkan ke tugas yang lebih kompleks dan belum bisa digantiin sama mesin. Misalkan para petani yang sebelumnya melakukan pekerjaan manual, sekarang bisa digantikan mesin dan bisa menghemat 6 jam perminggu.
Jadi para petani bisa fokus mikirin yang lebih penting, misalkan perencanaan pertanian yang lebih strategis.

Contoh lainnya adalah sebagian pekerjaan guru yang bikin soal dan ngoreksi tugas murid itu udah bisa digantikan sama teknologi. Mereka jadinya bisa lebih fokus untuk mengajar dan juga membuat sesi pengajaran yang lebih menarik pakai bantuan teknologi. Contoh lainnya lagi bisa kita lihat dari kehadiran ojek online. Kehadiran mereka beberapa tahun lalu itu mungkin menghilangkan pekerjaan operator CS dari taksi tradisional. Tapi secara bersamaan mereka juga menumbuhkan banyak lapangan pekerjaan baru yang lebih relevan sama dunia digitalisasi modern. Misalnya di tahun 2019, gojek itu tercatat punya 4000 staf dan mendukung 2,5 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia. Termasuk para driver dan juga UMKM yang jadi ngetrend. Teknologi otomasi ini mungkin bakalan membuat beberapa pekerjaan punah. Tapi ya otomasi itu juga menciptakan lapangan pekerjaan baru yang lebih besar.

McKinsey memprediksi sampai 2030 bakalan ada 27-46 juta lapangan pekerjaan yang tercipta. Dan 10 juta diantaranya itu adalah pekerjaan baru yang belum ada di masa sekarang. Ko bisa gitu ya, emangnya apa sih yang bisa bikin pekerjaan baru itu muncul? Ada beberapa katalis yang diperkirakan bakalan membuka lapangan pekerjaan baru di Indonesia.
Pertama, peningkatan pendapatan bisa menggerakan UMKM. Dari tahun 2000-2015, nilai produktivitas pekerja Indonesia itu naik dari 35.400 jadi 57.800 rupiah per jamnya. 42% dari peningkatan ini disebabkan oleh teknologi otomasi. Nah peningkatan produktivitas ini membuat pendapatan meningkat. Dan bisa jadi efek berantai ke tingkat konsumsi sampai lahirnya lapangan pekerjaan soalnya banyak orang yang memilih untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru

Kedua, faktor investasi di sektor properti dan infrastruktur. Teknologi otomasi itu butuh infrastruktur yang memadai buat perusahaan yang mengadopsinya. Mulai dari pembangunan pabrik, instalasi peralatan, sampai perawatan dan pemeliharaan. Kalau saja Indonesia sanggup menyediakan 4-5% anggaran PDB nya untuk infrastruktur, diperkirakan tahun 2030 ada lebih dari 9 juta lapangan pekerjaan yang tercipta buat teknisi, insinyur, kuli bangunan, dan pekerjaan sejenis buat kerjaan skala besar di berbagai industri.

Ketiga, faktor pemanfaatan teknologi. Teknologi aplikasi kemitraan kaya e-commerce itu sangat membantu para pengusaha kecil, freelancer, dan juga pekerja sektor informal buat mencari penghasilan. Dalam 2-3 tahun terakhir, kita bisa lihat teknologi revolusi Indonesia yang dulunya banyak dicibir karena menghilangkan pekerjaan tertentu. Tapi bisa dilihat sendiri justru lebih banyak peluang tercipta buat orang-orang yang mau adaptasi. Diperkirakan sampai tahun 2030, teknologi ini akan membuka 26 juta lapangan kerja baru di Indonesia.

Mungkin ada diantara kalian yang takut gimana kalau lapangan pekerjaan yang potensial itu akhirnya bakalan terotomasi juga? Ya tapi emang teknologi itu akan terus berkembang dan kita sendiripun harus terus beradaptasi. Meskipun begitu aku mau coba kasih gambaran sedikit. Mana aja tipe usaha yang belum bisa cepat digantikan pakai teknologi. Atau setidaknya dalam tempo beberapa tahun ke depan.

Pertama, pekerjaan fisik yang tidak gampang diprediksi. Misalkan seperti pekerjaan konstruksi yang harus menyesuaikan dengan kondisi lapangan.
Kedua, pekerjaan yang butuh interaksi dengan manusia. Seperti psikiater, psikolog, personal trainer, mentor, dll.
Ketiga, pekerjaan yang butuh kreativitas. Seperti seniman, influencer, musisi, olahragawan, dll.
Itulah beberapa kerjaan yang bisa dibilang buat sementara waktu belum bisa digantikan oleh AI, walaupun memang perkembangan teknologi itu bisa jadi jauh lebih cepat dari dugaan kita.

Mungkin kamu ada yang kepikiran gitu, emangnya otomasi ini bagus ga sih buat ekonomi secara keseluruhan? Sebetulnya, pertumbuhan PDB Indonesia masih bergantung banget sama sektor konsumsi yang didapatkan dari pertambahan jumlah penduduk. Tingkat konsumsi yang besar itu memang bagus untuk perekonomian. Tapi dikhawatirkan ga strategis buat jangka panjang. Soalnya kalau misalkan hanya mengandalkan konsumsi berarti kita itu hanya jadi negara konsumen. Yang bergantung sama pertumbuhan penduduk dan juga jumlah populasi masyarakat. Nah teknologi otomasi, bisa mendukung pertumbuhan PDB yang lebih kokoh. Karena produktivitasnya bisa ditingkatkan tanpa perlu mengandalkan pertumbuhan penduduk.

Ada analisa yang memperkirakan kalau otomasi bisa meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 1,4-2,1 titik persen, atau setara dengan 3000-5000 triliun rupiah dalam 11 tahun. Artinya apa, pendapatan per kapita bisa naik sampai 10,8 – 16,9 juta per tahun. Kalau dari proyeksi ini ya kesannya emang optimis banget kan. Tapi buat mencapai itu, sebetulnya kita sebagai masyarakat juga harus lebih cepat buat mempersiapkan diri dengan cara mempelajari banyak kemampuan dan skillset baru yang dibutuhkan di masa depan. Karena diperkirakan sekitar 20% tenaga kerja Indonesia harus mempelajari skill baru sesuai dengan permintaan pasar nanti.

Survei dari World Economic Forum 2020 menunjukkan kalau 8 dari 10 kerjaan yang laku di masa depan itu berkaitan sama teknologi. Yang bisa dibilang belum dikenal banyak oleh masyarakat Indonesia sebelumnya. Nah bagaimana kesiapan kerja dan industri Indonesia? Ya terus terang aja ini masih menjadi PR besar untuk kita semua. Karena proses adaptasi masyarakat itu masih terbilang lambat dan juga resisten terhadap teknologi.
Ada tips supaya para pekerja bisa bertahan untuk menghadapi industri otomasi.

Pertama, tidak berkompetisi dengan teknologi. Kalau kita mencoba bersaing dengan teknologi ya kita pasti kalah. Soalnya teknologi memang di desain untuk melebihi kapasitas manusia.
Kedua, kita harus bekerja sama dengan teknologi buat meningkatkan produktivitas. Misalnya kamu seorang akuntan yang perusahaannya sudah mengadopsi sistem software akuntansi. Kamu yang mungkin cuma punya kemampuan pembukuan akuntansi manual yang harus mau belajar untuk sistem baru tersebut yang lebih kompleks. Karena kalau misalnya kamu udah paham cara kerja sistem tersebut, skill kamu tuh bakalan jauh lebih menjual di dunia industri.
Ketiga, masyarakat harus mau keluar dari zona nyaman dengan mempelajari skill baru yang belum tersentuh otomasi. Bisa lewat kuliah online, sertifikasi, atau pendidikan keterampilan.
Keempat, memperluas pergaulan dan koneksi, supaya bisa dapet ilmu dan kesempatan baru di masa depan.

Otomasi itu emang ga akan terjadi secara instan.. Tapi dengan perlahan tapi pasti. Jadi kita punya banyak waktu buat beradaptasi dan belajar lebih banyak. Mungkin banyak dari kita yang masih khawatir kalau otomasi bakalan mengancam pekerjaan kita. Tapi ingat, sepanjang sejarah pekerjaan tradisional yang musnah karena perkembangan teknologi itu selalu diganti dengan pekerjaan baru yang lebih baik. Pekerja yang mampu bertahan adalah pekerja yang bisa beradaptasi dan hidup berdampingan dengan teknologi. Buat kamu yang sekarang lagi kerja gimana nih kesiapan kamu dengan perkembangan teknologi?

Leave a Reply

Your email address will not be published.