Kisah sukses kadang hanya berisi sebuah cerita yang menarik.
Tapi tidak memberikan gambaran yang utuh.
Kali ini saya akan bahas buku The Halo Effect karya Phil Rosenzweig.
Buku ini menceritakan tentang
Kesalahan kita saat memberikan penilaian terhadap kesuksesan atau kegagalan sebuah perusahaan.

Banyak orang seringkali mengkaitkan performa keuangan perusahaan yang bagus,
dengan kesuksesan perusahaan.
Dari situ, mereka lalu menganggap semua yang dilakukan perusahaan tersebut,
sebagai hal yang hebat.
Mulai dari strateginya yang jelas,
kepemimpinan yang brilian, dan eksekusinya yang luar biasa.

Namun ketika perusahaan yang sama mengalami penurunan kinerja,
semua orang lalu berbalik mengkritik,
dan menganggap semua yang dilakukan perusahaan itu semuanya buruk.
Nah ini yang seringkali kurang tepat.

3 Hal penting dari buku ini yang bisa dipelajari.

Pertama, apa alasan di balik perusahaan yang sukses?
Setiap pemilik bisnis atau pemimpin perusahaan,
pasti berusaha untuk mencari pil ajaib.
Sebuah ide atau metode yang merupakan jalan menuju sukses.

Biasanya kita akan menggunakan kisah sukses atau panduan langkah demi langkah,
untuk meniru perusahaan yang sudah lebih dulu sukses.
Namun perlu disadari, cerita sukses tersebut biasanya dibuat terlalu disederhanakan,
dan tidak memberikan gambaran secara utuh.

Perlu kita sadari, tidak ada hasil yg pasti dalam menjalankan sebuah bisnis.
Contohnya begini :
Jika kamu membeli 2 perusahaan, dan menggunakan 1 strategi manajemen untuk yg satu,
dan strategi berbeda untuk yang lainnya,
membandingkan kedua perusahaan tersebut, tidak akan banyak memberikan informasi,
apa penyebab keberhasilan atau kegagalannya.

Hal ini disebabkan begitu banyak faktor yang mempengaruhinya.
Kamu harus menilai situasi yang kamu alami saat ini,
dan bertindak berdasarkan informasi tersebut.
Alih-alih hanya mengikuti saran orang lain secara membabi buta.

Penulis berargumen, buku tulis yang populer biasanya menjadi best seller,
bukan berdasarkan data yang dapat diandalkan atau riset yang panjang.
Namun buku tersebut menjadi best seller,
karena kehebatan penulisnya yang mampu merangkai sebuah cerita yang menarik.

Misalnya banyak orang sangat suka kisah dari si miskin yang menjadi kaya raya.
Bukan hanya itu, terkadang buku bisnis juga menekankan pada sebuah perubahan kecil di satu bidang, namun dianggap mampu mendorong kesuksesan sebuah perusahaan.

Ada sebuah contoh yang menarik,
pada bulan Maret tahun 2000, perusahaan teknologi Cisco sempat menjadi perusahaan paling bernilai di dunia.
Perusahaan tersebut dihujani banyak pujian oleh berbagai media, atas keunggulan perusahaannya, disiplin dan juga koordinasinya.

Tepat 1 tahun kemudian, harga sahamnya turun dari $80, menjadi hanya $14.
Cisco langsung digambarkan sedang berada dalam kekacauan, kurang koordinasi, dan tidak mendengarkan pelanggan.
Bagaimana bisa sebuah organisasi yang sama berubah begitu cepat?

Menurut penulis, jawabannya adalah tidak.
Yang berubah adalah bagaimana perusahaan tersebut digambarkan,
dan itu hanya didasarkan pada harga sahamnya.
Karena menilai sebuah perusahaan itu tidak mudah,
banyak orang menggunakan matrik laporan keuangan,
sebagai standar apakah perusahaan tersebut berkembang atau tidak.

Jika sebuah perusahaan menghasilkan sebuah keuntungan yang baik,
banyak orang menganggap semua hal ini berkat CEO yang hebat, dinamis dan budaya perusahaan yang kuat.
Jika perusahaan yang sama berkinerja buruk, CEO yang sama akan digambarkan sebagai,
orang yang arogan dan tidak mau mendengarkan.
Budaya perusahaan juga digambarkan sebagai hal yang buruk.

Kedua, hati-hati salah menilai orang lain.
Manusia sering kali punya halo effect dalam menilai sesuatu.
Halo effect merupakan istilah di bidang psikologi,
untuk menyebut sebuah fenomena kemunculan penilaian terhadap kepribadian seseorang,
berdasarkan kesan pertama.

Kamu pasti inget di sekolah.
Siswa yang punya perilaku baik di kelas.
Dianggap sebagai anak yang lebih cerdas dan lebih ramah dibandingkan teman yang lainnya.
Contoh lain yaitu saat interview kerja.
Calon karyawan yang dinilai lebih menarik,
secara umum dianggap lebih kompeten dibandingkan calon karyawan yang lain.

Efek yang sama juga terjadi saat banyak orang berusaha menilai kesuksesan sebuah perusahaan.
Jika sebuah perusahaan menghasilkan keuntungan yang besar,
maka aspek perusahaan yang lain juga dianggap sangat baik.
Misalnya CEO yang hebat, atau budaya kerja yang solid, dan sebagainya.

Namun kenyataannya, terkadang faktor tersebut tidak jauh berbeda,
dengan perusahaan yang sedang mengalami tantangan.
Kita suka berharap hanya ada satu jawaban dari sebuah masalah.
Namun untuk menjelaskan kesuksesan atau kegagalan sebuah perusahaan,
tidak ada jawaban yang 100% benar.
Karena semua hal bergantung satu sama lain.

Sebuah studi menemukan, kalau tanggungjawab sosial perusahaan,
atau dikenal dengan nama CSR, berkontribusi sebesar 40% pada kesuksesan perusahaan.
Riset ini membuat kita jadi gegabah mengambil kesimpulan,
kalau CSR merupakan faktor terpenting untuk meningkatkan kinerja keuangan.
Namun harus kita sadari, CSR juga berkaitan dengan berbagai aspek lain yang penting.
Misalnya manajemen perusahaan yang baik,
orientasi pasar, dan sebagainya.

Sangat berbahaya apabila kita langsung buru-buru mengambil sebuah kesimpulan.
Contoh lain seperti ini :
Banyak orang berpendapat, kalau CEO memiliki andil besar,
dalam menentukan keberhasilan perusahaan.
Adalagi yang berpendapat, kalau budaya kerja yang kolaboratif justru yang berperan tinggi.

Pertanyaannya seperti ini :
Apakah kita bisa memisahkan kedua faktor tersebut dan melihat mana faktor yang paling berperan?
Tentu saja ini sulit kan?

Ketiga, sukses tidak hanya tergantung dirimu saja.
Apakah ada formula untuk sukses?
Jika kamu mengikuti serangkaian langkah, maka kamu pasti akan sukses.
Namun faktanya, walaupun kamu sudah mengikuti semua langkah tersebut,
belum tentu kamu bisa sukses.
Perlu disadari, sukses atau gagalnya sebuah perusahaan,
tidak hanya bergantung pada diri mereka sendiri.
Tapi juga pada apa yang dilakukan oleh para kompetitornya.

Ada sebuah studi yang mengkategorikan sebuah perusahaan ke dalam berbagai kategori.
Winners, climbers, atau losers.
Salah satu perusahaan retail bernama Kmart,
dimasukkan ke dalam kategori losers.
Mungkin kalau dilihat sekilas, hal ini masuk akal.
Kinerja Kmart turun terus selama bertahun-tahun.
Hingga akhirnya mereka bangkrut pada tahun 2002.

Namun kalau dilihat lebih detail,
sebelum bangkrut, Kmart telah berusaha keras dan telah melakukan berbagai terobosan.
Misalkan menyediakan layanan bebas pulsa untuk keluhan pelanggan.
Menghemat Rp. 3,3 triliun karena menggunakan teknologi yg lebih modern.
Proses operasional yang lebih baik, dan sebagainya.

Di luar semua perbaikan yg dilakukan,
tetap saja keuangan Kmart tidak membaik.
Kenapa? Karena kompetitornya begerak lebih cepat.
Sebagai gambaran, walaupun Kmart memasang mesin scan dikasir pada tahun 1990,
kompetitornya yaitu Wallmart, telah melakukan ini 2 tahun sebelumnya.
Di banyak aspek, kompetitornya bergerak lebih lincah atau lebih baik daripada Kmart.

Ini sebuah pelajaran yang menarik.
Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang sifatnya relatif.
Perusahaan kamu tidak hanya sukses mengikuti formula tertentu.
Tapi juga ditentukan dari apa yang kompetitormu lakukan.

Tidak ada formula rahasia untuk sukses.
Semua hal berhubungan satu sama lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published.